Kami berempat duduk berdekatan dibawah kipas diatas karpet membincangkan rencana mudik akhir semester. Ini mungkin akan menjadi momen terakhir kami bisa duduk berselonjoran bersama. Tak ingin beranjak dari tempat duduk, kami lanjutkannya dengan berbaring. Masing-masing kami pribadi sekarang dengan kesibukannya, sementara aku dengan handphoneku, yang satu dengan handphonenya juga, yang dua dengan al-Qur'annya, dan yang tiga dengan laptopnya. Namun kami masih tetap dalam suasana yang sama di bulan suci ini. Koneksi Wifi yang lancar menambah kenikmatan suasana berkumpul di tengah hari yang cerah seusai Jum’atan. Aku putar ceramah ustadz yang cukup sering terdengar namanya ditelingga para pejuang perantauan seperti kami berempat. Judulnya menginspirasi "70-100 kali Nabi Muhammad SAW beristigfar dalam sehari", mereka terlihat nyaman mendengarnya begitupun aku yang sangat khidmat dengan suara nasehat ini. Low Battery membuat video yang diputar tak sempat sampai akhir kami simak. Aku tak mendengar mereka bertiga bersuara lagi, kupikir mereka menyimak video ini bersamaku ternyata ketiganya terlalu nyaman sampai terlelap.
Menghela nafas panjang kemudian aku memikirkan aktivitas sejam yang lalu. Temanku yang pertama memposting status barunya di akun WhatsApp. Sebuah lantunan kata-kata dengan background suasana pemandangan yang masih asri. Di zaman ini, handphone sudah menjadi kebutuhan. Di era yang komunikasi bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja ini, whatApp wajib terinstall dihandphone masing-masing individu. Tak heran jika hampir setengah hidup manusia dalam sehari dihabiskan untuk berselancar di akun WhatApp mereka. Menjadi sangat penting bahkan jika seorang mahasiswa seperti saya tidak aktif beberapa hari, akan kehilangan arah, berhenti di ditengah arus kehidupan. Aku membayangkan masa lalu, mungkin aku yang sekarang tidak akan mampu menjalani hidup dimassa dimana komunikasi berlangsung hanya jika bertatap muka. Sementara dizaman ini, orang dikecam karena lambat dihubungi. Bagaimana orang pada masanya jika punya urusan penting dengan orang yang jauh mengharuskan adanya komunikasi? Selambat itu kah? Apakah mereka tak bosan menunggu surat balasan? Pikiranku mulai jauh, tapi ponselku tetap disampingku dengan baterai yang masih kosong dayanya. Lantunan merdu di sebuah video status yang backgroundnya sebuah pemandangan makin membuat otak berusaha memunculkan ide pikirannya sendiri.
"Akan bagus dipandang orang jika kita bisa merekam sendiri footage video status kita yah", kata temanku yang satu. Aku dan juga temanku yang satu, dan dua teman yang lain bergerak dengan dua motor memulai perburuan mencari view pemandangan yang bagus untuk dijadikan footage status di whatsapp. Berbonceng dua-dua kami menuju suatu tempat yang tidak diketahui namanya. Melewati pasar, jalan beraspal, dan ada sebuah tol disana. Di samping kiri jalan ada bagian bekas penggalian tanah ditumbuhi semak belukar dan rumput liar telah lama sudah ditinggalkan. Jika kami teruskan lurus akan ada sebuah jembatan flyover kearah yang entah kemana juga. Kuda besi yang kami tunggangi tetap melaju turun ke kiri jalan melewati bekas galian dan akhirnya berhenti di dekat kaki-kaki penyangga Flyover. Tepat diatas kami berlalu Lalang ramai kendaraan melintasi flyover. Tanpa lama dari kami berhenti, kami sudah melengkapi diri dengan persenjataan berburu masing-masing. Satu handphone yang kameranya cukup lumayan dipegang temanku yang satu. Satu senapan ditemanku yang lain, satu lagi sudah ada ditangganku sendiri. Matahari terik di cuaca yang cerah ini memaksa kami berlindung di bawah badan jalan flyover. Namun semangat berburu kami tak sampai terbakar tak juga padam. Nyatanya temanku dengan ponsel ditangannya sudah merekam sesuatu. Aku melihatnya sedikit aneh, yang ia rekam hanya serangga yang hinggap di dahan rerumputan. Viewnya cukup nyaman dimata, tapi itu hanya sekedar iseng saja. Kami masih berusaha mencari disekitar lokasi sesuatu yang menarik dan mempesona mata. Aku tak temukan sesuatu apapun, kupikir mereka kesini hanya main-main saja, sedikitpun aku tak beranjak dari posisi, kedua temanku malah sibuk dengan senapan dan tak berkontribusi dengan ikut mencari.
Aku tidak mau perjalanan ini hanya membuang keringat saja. Apalagi yang kedua temanku lakukan hanya mengotak-atik senapan plastik. Padahal cuaca makin panas, kendaraan yang berlalu lalang di flyover tak menghiraukan keluh kami mencari. Lelah mencari, Aku mencoba senapanku sendiri, aku menekan hampir tak sengaja. "destt.." peluru plastik meluncur cepat keudara. Cukup menarik juga memainkan senapan disini. Aku mencoba menembakkanya ke arah lain dengan menarik pelatuknya sekali lagi. "desstt.." Ternyata peluru plastik cukup kencang melesat keluar dari selongsong senapan. Dengan ini mungkin aku bisa memberi rasa sakit pada sesuatu. Sekelilingku tak ada sesuatu untuk disakiti. Didepan kami, dibawah flyover kami duduk berlindung dari panas matahari ini sebuah sungai kering kerontang yang cukup lebar ditumbuhi semak belukar di pinggirnya. Semak belukar cukup menutupi pandangan kedasar sungai itu. Diseberang sungai itu, berdiri sebuah bangunan seperti tempat penginapan. Terlihat sudah usang dan lama tidak berpenghuni. Jendela kaca transparan nampak pecah menyisakan lubang sebesar genggaman tangan menarik perhatianku. Aku membidik bagian lubang itu, menarik pelatuk senapan sekali lagi. "desstt.." "Tingg.." peluru memantul membentur kaca. Aku masih penasaran sehingga mencoba peruntunganku sekali lagi. Kali ini aku mencoba dengan meningkatkan akomodasi, dan konsentrasi menarik perlahan seraya berhati-hati. Aku berusaha membayangkan bagaimana proses senapan ini menembakkan pelurunya, layaknya sebuah time laps. Saat pelatuk ditekan, bagian dalam senapan ikut bergerak memompa udara dengan kuat, mendorong peluru melewati selongsong senapan kemudian keluar dan menembus lapisan udara bebas menuju target bidikan. Sangking meresapi imajinasi yang aku bayangkan semampunya, semakin percaya diri aku dengan kesempatanku yang ketiga ini.
"Besstt..." eh ternyata... aku bukan heran, tapi lucu melihatnya. Bukan lagi peluru yang keluar, eh malah tali karet panjang kini melintang dari ujung senapan lewat diatas sungai dan akhirnya masuk ke lubang kaca itu. Entah siapa yang mengganti peluru dengan tali karet ini, padahal sejak tadi tidak ada yang menyentuhnya selain tanganku. Keanehan ini semakin terasa jelas satu-persatu. Tapi kali ini bisa dikatakan bidikanku tepat sasaran. Kuhentikan main-main ku dengan senapan ini. Memandang kesekeliling tempat kami berteduh. Saat memandang kearah kanan atas 60 derajat keudara, pandanganku bukan lagi sisi jalan flyover yang semestinya terlihat. Sekarang entah darimana datangnya dan sejak kapan rumah tepat dipingir jalan Flyover ini muncul. Semakin aku memastikan, malah semakin jelas penampakan rumah dengan model panggung sederhana yang biasanya sering digusur polisi pamong dikota-kota. Sekilas nampak sesosok perempuan tak berhijab, tergurai rambutnya terlihat melalui jendela di dalam rumah. Atau mungkin kami saja yang tak sempat melihat ada rumah disini dari tadi. Padahal jarak rumah dipingir jalan itu kira-kira tak lebih dari 20 meter dari posisi kami duduk. Mungkin penat dan teriknya mentari membuat fatamorgana muncul dan menghilangkan benda-benda muncul dimata.
Sementara aku masih mengamati rumah itu, temanku yang pertama dengan kameranya nampak serius merekam sesuatu. Dua temanku yang lain juga tampak serius memperhatikan sesuatu didepannya. Benar saja, aku dikejutkan lagi oleh dua ekor monyet ekor panjang yang tiba-tiba sudah ada didepan kami. Monyet itu bergelantungan di cabang pohon kering dipinggir sungai. Mereka nampak sedang bermain-main, atau mungkin sedang tak sengaja lewat disekitar kami. Kejadian langka seperti ini memang perlu diabadikan. Aku rebut handphone dari temanku yang pertama agar aku bisa merekamnya sendiri. Aku mulai merekamnya, landscape, dengan resolusi kamera terbaik. Memastikan agar hasilnya sesuai harapan, berhati-hati berharap dua ekor monyet yang sedang saling bercengkrama itu tidak kabur.
"Desst..." tembakan terdengar. Fokusku hilang dari merekam, mencari sumber suara tembakan. Dua temanku yang dari hanya asik dengan senapannya itu malah menghilangkan kesempatan yang langka ini. Penampakan dua ekor monyet itu hilang dari rekaman. Apakah mereka tak merasakan kulitku sudah terbakar hampir gosong tersengat matahari. Emosiku mulai tak tertahan lagi melihat ulah mereka berdua. Ingin rasanya ku patahkan tulang-tulang ditubuh manusia yang dua ini, namun aku taktega. Aku hanya bisa menahan amarah di cuaca yang masih panas ini. Aku putar ulang rekaman video yang sempat diambil sebelum monyet itu pergi. Tidak begitu mengecewakan rupanya, hanya saja mungkin ini bukan waktu keberuntungan kami dengan hanya mendapat sedikit view saja. Setelah lama mencari, dengan peluh kesah dan baju basah keringat, perolehan kami tak bisa banyak jika di tempat ini saja. Oleh karena itu kami memutuskan beranjak dari posisi dan mencari tempat lain. Kami berempat berjalan kaki melawan arah kami datang ketempat ini menyusuri pinggir sungai.
Lama kami berjalan tidak menemukan apapun yang menarik. Daerah yang kami datangi ini sepi penduduk, padahal lalu lintas ramai dijalan. Rumah-rumah penduduk hanya satu atau dua terlihat berjauhan. Kami putuskan untuk mencari tempat istirahat dan mencari minum untuk membasahi kerongkongan yang kering kerontang sejak tadi. Kami terus berjalan kearah yang sama, kearah pemukiman yang lebih ramai. Tidak lama kemudian nampak keramaian didepan kami, ada kios bensin diseberang jalan dan pasar tradisional yang agak sepi. Didepan ada gubuk sederhana yang kami kira itu toko yang biasa menjual kemplang atau kue oleh-oleh yang biasa ada dipinggir jalan. Setelah lebih dekat ternyata itu lebih mirip sebuah rumah sederhana yang mungkin ditinggal pergi penghuninya.
Kami lewat tepat didepan rumah itu. Aku penasaran dengan terus mengamati sejak dari kejauhan, melirik kesemua sudut rumah, mencari sesuatu kejanggalan yang mungkin muncul lagi. Sekilas sebelum pandangan kualihkan, saat itu juga dari dalam rumah melalui pintu yang setengah terbuka, seorang wanita keluar. Usianya tak lebih tua dari saya. Nampaknya ia sedikit malu melihat kami lewat memperhatikannya, ia nampak ragu melangkah lagi, berhenti didepan pintu, tersenyum. Seperti aku pernah melihat wajah itu disuatu tempat, aku kenal senyumnya. Dan pasti benar itu dia, mataku sedang jeli melihat saat sedang berjalan. Padahal aku ingin lebih lama melihatnya, namun sekilas, lalu ia kembali masuk.
Sambil terus berjalan aku berusaha memastikan senyum itu, mudah-mudahan aku tidak salah kali ini. Sebenarnya sosok itu adalah seorang yang pernah memanggil dengan namaku sekali saja. Tak banyak yang aku ingat karena sudah lama berlalu. Tak ingin kehilangan kesempatan ini, beberapa meter dari rumah yang membuatku penasaran itu aku berbalik arah tanpa sepengetahuan ke tiga temanku. Aku kembali dan ingin melihat kondisi dirumah itu lagi. Kali ini kuberanikan untuk lebih dekat melintas, melewati celah atap daun nipah kering yang masih digantung di teras rumah, lalu melintas tepat didepan pintu. Benar saja, wanita itu ada disana, ia nampak sedikit terkejut aku muncul tiba-tiba dari balik daun nipah kering itu. Aku tak berniat meyapanya dan langsung lewat saja setelah melihat lebih dekat wajahnya. Ia hanya terpatung menutupi senyum diwajah dengan tangan. Padahal aku berhasil melihat senyumnya dua kali.
Dan suara Adzan pun terdengar saat itu juga. Suara itu nampak lebih nyata dari apa yang aku rasakan. Aku memeriksa lagi pendengaranku, mengambil rangsangan suara itu dan memasukkannya ke bagian pikiran yang masih kosong. Mulai nampak jelas apa yang telingga dengar, dan terasa menipu apa yang sedang terjadi sekarang. Aku mulai sadar dan akhirnya terbangun. Suara adzan ini lah yang memang nyata, aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 15.25 WIB. Sementara ketiga temanku, yang pertama masih terpulas tidur, yang kedua sudah duduk dedepan laptopnya, dan yang ketiga berusaha menyadarkan diri sendiri.
http://news.chivindo.com/861/dua-senyum-yang-sama.html
Comments
Post a Comment