Kemenangan Jokowi – Ahok dalam Pemilukada DKI menjadi sebuah fenomena yang membalikkan semua prediksi statistik. Sosok Pak Jokowi menjadi daya tarik tersendiri bagi kebanyakan warga Jakarta.
Kurang lebih dua bulan masa kepemimpinan beliau, banyak sekali hal positif yang menjadi budaya baru dikalangan birokrat Balai Kota. Sebut saja mulai adanya keterbukaan anggaran, terkikisnya budaya Asal Bapak Senang (ABS), dan yang tidak kalah menghebohka aktivitas Pak Jokowi yang sering turun kebawah (turba). Mudah-mudahan ini menjadi tolok ukur minimum bagi kepala daerah lain di Indonesia.
Tidak ada gading yang tak retak. Peribahasa ini yang saya kira tepat untuk melukiskan situasinya.. Namun apapun itu, keterbukaan dan apa adanya membuat Pak Jokowi, sangat mudah terdeteksi posisi arahnya bagi lawan maupun kawan. Ini seperti gaya yang berbeda dalam ranah perpolitikan Indonesia. Tapi sekali lagi ini kabar baik bagi Indonesia. Terlepas dari “Revolusi” Pak Jokowi & Ahok, sebagai bahan pembelajaran, saya melihat ada 3 hal mendasar yang terasa sangat mengganggu ditengah eforia.
Pertama, Tidak bertindak strategis
Minggu lalu, sejak Jumat siang hingga sabtu (22 Des) malam Jakarta direndam Banjir. Kemacetan sangat parah hingga di jalan Tol dalam kota dan Lingkar Luar. Tidak berhenti disitu, Istana negara pun tidak luput dari genangan. Memang benar, ada yang mengatakan tidak mungkin menyelesaikan situasi ini dalam 2 bulan saja, atatu sah saja jika ada statement bahwa ini peninggalan Gubernur terdahulu. Betul, hampir pasti pernyataan ini tidak terbantahkan kebenarannnya. Apakah ini sekedar exception? kita lihat uraian dibawah.
Di media, begitu intensnya aktivitas Jokowi yang “blusukan” ke pemukiman-pemukiman padat, lalu sosialisasi langsung program-program kesra, hingga acara bersih-bersih sungai dan sidak selalu menjadi topik utama di media Jakarta. Saat itu saya berpikir, Wah Pak Jokowi mungkin sudah menganalisa kondisi Jakarta terutama saat curah hujan tinggi, siapkan strategi untuk mengatasinya, lalu sidak untuk melakukan control pelaksanaannya di lapangan.
Ah...ternyata perkiraan saya salah. Hampir tidak terlihat strategi dalam antisipasi musibah tahunan ini. Ini artinya Pak Jokowi berjalan tanpa strategi yang jelas, jadi program-programnya terkesan overlapping ke hal-hal yang sangat teknis. Tanpa adanya strategi yang tepat, tentunya program-program tidak akan jelas arah, sasaran, tidak terintegrasi dengan program lain terkait, dan sulit untuk mengukur hasilnya. Sekilas tampak seperti "One Man Show".
Ini masih satu case saja lho, yaitu banjir di Jakarta. Disamping masalah ini, Jakarta masih menyimpan problem yang tidak kalah rumit, seperti penurunan permukaan tanah dibeberapa titik dibanding permukaan laut, sehingga banjir rob rutin menyambangi Jakarta, masalah lain dibidang transportasi yaitu tidak kunjung selesainya Grand Design Proyek MRT , masalah lain? anda masih ingat tahun-tahun lalu ? setelah lepas musim hujan dan banjir, sudah menunggu kejadian rutin tahunan, yaitu berkurangnya suplay air bersih dari PT. PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) akibat kurangnya debit ciliwung, adakah strategi untuk antisipasi ini? Saya sangat yakin jika jawabannya "belum". Dan hampir disemua bidang Jakarta menyuimpan permasalahan yang tidak bisa dipandang enteng.
Dalam sebuah Media Online, Jokowi menjelaskan kesepakatan awal memang membuat tugas gubernur banyak dilakukan di luar lingkungan kantor dan bertemu langsung dengan masyarakat. Sementara wakil gubernur akan berada di kantor untuk mengurus persoalan anggaran. "Jadi, saya di luar Pak Wakil Gubernur di kantor," kata dia. Apakah ini benar ? Lalu siapa yang men-direct penyusunan strategi mapping di semua bidang pelayanan ? Tanpa strategi mustahil semua ini akan terpantau, jika jawabannya masih "adaptasi" apakah kami harus menunggu 5 tahun Pak? Harusnya bapak sudah memahami ini semua sebelum memutuskan untuk menjadi DKI 1.
" No Exception sir, sorry...this isn't time problem only, but this's absolutly basic organizing skill problem."
Ah...ternyata perkiraan saya salah. Hampir tidak terlihat strategi dalam antisipasi musibah tahunan ini. Ini artinya Pak Jokowi berjalan tanpa strategi yang jelas, jadi program-programnya terkesan overlapping ke hal-hal yang sangat teknis. Tanpa adanya strategi yang tepat, tentunya program-program tidak akan jelas arah, sasaran, tidak terintegrasi dengan program lain terkait, dan sulit untuk mengukur hasilnya. Sekilas tampak seperti "One Man Show".
Ini masih satu case saja lho, yaitu banjir di Jakarta. Disamping masalah ini, Jakarta masih menyimpan problem yang tidak kalah rumit, seperti penurunan permukaan tanah dibeberapa titik dibanding permukaan laut, sehingga banjir rob rutin menyambangi Jakarta, masalah lain dibidang transportasi yaitu tidak kunjung selesainya Grand Design Proyek MRT , masalah lain? anda masih ingat tahun-tahun lalu ? setelah lepas musim hujan dan banjir, sudah menunggu kejadian rutin tahunan, yaitu berkurangnya suplay air bersih dari PT. PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) akibat kurangnya debit ciliwung, adakah strategi untuk antisipasi ini? Saya sangat yakin jika jawabannya "belum". Dan hampir disemua bidang Jakarta menyuimpan permasalahan yang tidak bisa dipandang enteng.
Dalam sebuah Media Online, Jokowi menjelaskan kesepakatan awal memang membuat tugas gubernur banyak dilakukan di luar lingkungan kantor dan bertemu langsung dengan masyarakat. Sementara wakil gubernur akan berada di kantor untuk mengurus persoalan anggaran. "Jadi, saya di luar Pak Wakil Gubernur di kantor," kata dia. Apakah ini benar ? Lalu siapa yang men-direct penyusunan strategi mapping di semua bidang pelayanan ? Tanpa strategi mustahil semua ini akan terpantau, jika jawabannya masih "adaptasi" apakah kami harus menunggu 5 tahun Pak? Harusnya bapak sudah memahami ini semua sebelum memutuskan untuk menjadi DKI 1.
" No Exception sir, sorry...this isn't time problem only, but this's absolutly basic organizing skill problem."
Kedua, Terlalu populis
Itulah kesan yang muncul. Kondisi ini menyebabkan adanya anggapan bahwa apa yang Pak Jokowi lakukan tidak lebih dari “pencitraan”. Saya tidak setuju dengan anggapan ini dan meyakini bahwa apa yang dilakukan murni sebuah “style” bukan sandiwara seperti apa yang dilakukan politikus di Senayan.
Namun situasi seperti ini akan sulit jika diterapkan di Jakarta, diperlukan ketegasan dengan resiko tidak populer seperti Penanganan PKL, pemukiman Padat di Bantaran Ciliwung, dan issue terakhir, mengenai kenaikkan UMK DKI yang dikeluhkan pengusaha dan celakanya menjadi barometer penetapan UMK di kota-kota besar lain di Indonesia. Saya pikir Potitioningbeliau tampak tidak tepat & menyulitkan dalam mengemban tugas sebagai Regulator.
Namun situasi seperti ini akan sulit jika diterapkan di Jakarta, diperlukan ketegasan dengan resiko tidak populer seperti Penanganan PKL, pemukiman Padat di Bantaran Ciliwung, dan issue terakhir, mengenai kenaikkan UMK DKI yang dikeluhkan pengusaha dan celakanya menjadi barometer penetapan UMK di kota-kota besar lain di Indonesia. Saya pikir Potitioningbeliau tampak tidak tepat & menyulitkan dalam mengemban tugas sebagai Regulator.
Ketiga, Rekaman vidio kemarahan Ahok yang di unggah di You Tube sangat berlebihan dan kontra produktif.
Saya terkejut melihat vidio-vidio ini, apakah Ahok akan menanamkan “kemarahan” ke seluruh masyarakat Jakarta? Bukankah untuk yang satu ini, warga Jakarta ahlinya ? Masih jelas di memory kebrutalan massa saat demo 1998, apakah Pak Ahok tidak menyadari potensi ledakan emosional warga Jakarta ?
Terlepas dari ini, ada hal yang sangat mengganggu, yaitu upload kemarahan Ahok pada pejabat publik di YouTube. Bukankah mempermalukan bawahan di depan publik sangat tabu dilakukan oleh pemimpin ?. Kecuali beliau dapat pelajaran yang berbeda.
Saya ambil contoh yang mirip situasinya. Saya bekerja di Industri, terbiasa dituntut berpikir sistematis, mengandalkan struktural dan organizing yang kuat. Ibarat perang, orang – orang di garis depan, mulai dari operating person hingga leader-leader di lapangan adalah orang – orang yang patut dihargai dan dihormati. Dalam peperangan merekalah yang bakal kehilangan nyawa terlebih dahulu. Pada prinsipnya tidak ada bawahan yang salah. Analogi inilah yang menjadi panduan kami saat mendefinisikan "leader".
Berbeda dengan Ahok, Staf-staf beliau ini di posisikan di sudut ring yang berlawnan dan seolah menjadi pesakitan dan dipersepsikan sebagai pihak yang salah.Dalam vidio ini, Pak Wagub terlihat sebagai orang yang tidak bertanggung jawab dalam situasi ini.
Bandingkan dengan analogi saya tadi, apakah ini yang dinamakan Leader? Saya tidak perduli dengan model atau gaya kepemimpinan. Apapun gayanya entah demokratis ataupun otoriter, jelas sikap-sikap yang menunjukkan ketidak bertanggung jawaban dan tidak adanya rasa hormat, tidak dibenarkan. Untuk pak Ahok, kemarahan anda pada bawahan yang notabene pejabat publik lalu di upload, hanya memperumit situasi di Jakarta. Dengan kata lain, anda akan menjadi bagian dari masalah.
Saya ambil contoh yang mirip situasinya. Saya bekerja di Industri, terbiasa dituntut berpikir sistematis, mengandalkan struktural dan organizing yang kuat. Ibarat perang, orang – orang di garis depan, mulai dari operating person hingga leader-leader di lapangan adalah orang – orang yang patut dihargai dan dihormati. Dalam peperangan merekalah yang bakal kehilangan nyawa terlebih dahulu. Pada prinsipnya tidak ada bawahan yang salah. Analogi inilah yang menjadi panduan kami saat mendefinisikan "leader".
Berbeda dengan Ahok, Staf-staf beliau ini di posisikan di sudut ring yang berlawnan dan seolah menjadi pesakitan dan dipersepsikan sebagai pihak yang salah.Dalam vidio ini, Pak Wagub terlihat sebagai orang yang tidak bertanggung jawab dalam situasi ini.
Bandingkan dengan analogi saya tadi, apakah ini yang dinamakan Leader? Saya tidak perduli dengan model atau gaya kepemimpinan. Apapun gayanya entah demokratis ataupun otoriter, jelas sikap-sikap yang menunjukkan ketidak bertanggung jawaban dan tidak adanya rasa hormat, tidak dibenarkan. Untuk pak Ahok, kemarahan anda pada bawahan yang notabene pejabat publik lalu di upload, hanya memperumit situasi di Jakarta. Dengan kata lain, anda akan menjadi bagian dari masalah.
Akhir kata …
Tiga hal ini sangat mendasar, dan akhir kata, selamat bekerja untuk pak Gubernur dan Wakil, semoga bapak-bapak menjadi pribadi yang lebih baik lagi untuk dapat membawa Jakarta menuju perubahan yang positif dalam arti yang sebenarnya, bukan sekedar naiknya angka pendapatan perkapita penduduk saja. Tidak hanya warga Jakarta, kami yang berada di Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor juga mengharap banyak dari Kota anda. Semoga di 2013 Jakarta menjadi lebih baik. Happy New Year ...
http://news.chivindo.com/398/untuk-jokowi-dan-ahok.html
Comments
Post a Comment